...The Spiritual Guide: Other Paths of Discovery (Part II)
Begitu Dirayu, Allah Pun Tertawa
Kita sebagai sebuah bangsa, tak habis mengerti kenapa musibah datang beruntun seperti tak hendak menjauh dari garis nasib. Belum tuntas sebuah program pemulihan akibat terjangan musibah, mendadak datang kembali musibah lainnya di daerah yang lain pula. Alam seperti hendak meledek kita, para awam dan para pakar, betapa kita tidak memiliki apa-apa untuk bisa menandingi keperkasaan apalagi mengalahkan alam.
Setelah sekian puluh tahun alam ini kita eksploitasi, tahu-tahu ada gelombang tsunami yang meluluhlantakkan apa saja, gempa yang menelan hidup-hidup anak manusia, dan kini seperti bersatu dalam paduan koor, gunung-gemunung berapi bersiap memuntahkan apa saja yang dikandungnya. Lahar, lava dan percikan api siap menjadi lautan api. Kalau merujuk kepada riwayat-riwayat klasik, rangkaian ini sudah mirip dengan tanda-tanda kiamat kecil. Kejadian yang membuat dada sesak, rambut memutih, air susu ibu mengering, bayi-bayi mendadak dapat beban orang dewasa, bukankah ini sesuatu yang ajaib. Di balik semua kegusaran alam ini, Allah bertahta di Singgasana-Nya.
Kita sebagai bangsa, pernahkah memutar balik jarum hati kita kepada tujuan akhir kita akan pulang? Pernahkah terlintas keyakinan secara sungguh-sungguh bahwa Allah itu Maha Ada, sehingga semua persoalan kita pulangkan kepada-Nya ? Ini menjadi penting agar persepsi kita tentang diri kita, benar adanya di hadapan alam semesta, di antara manusia, dan yang terutama benar di hadapan Robbul 'Izzati. Meski musibah menerjang, belum pernah hal itu langsung membuat kita berada dalam satu barisan.
Kita masih saling menyalahkan, saling menuding, yang satu memanfaatkan yang lain, kesempatan berbenah disulap menjadi kesempatan melakukan tindak koruptif. Kata, maaf, baru meluncur kalau saudara kita datang mengiba-iba, kita memaafkan kalau seseorang sudah benar-benar hina di hadapan kita. Mau memberi kalau sudah diminta. Meminta-minta seperti tak kenal rasa malu. Memberi dengan berharap mendapatkan yang jauh lebih besar. Bangga karena memberi. Tak pernah sadar bahwa apa yang ada pada kita hanya titipan. Sesuatu yang sungguh tak akan pernah kita bawa mati. Jujur harus diakui, musibah apa pun yang diturunkan Allah selama ini, belum benar-benar mengubah orientasi kita dalam kehidupan bermasyarakat. Di balik semua kekerasan hati kita ini, Allah bersemayam di Kursi Arasy-Nya.
Tampaknya, belum pernah tercatat dalam sejarah kehidupan manusia pascazaman batu, ada prahara seperti musibah yang begitu akrabnya dengan kita tetapi begitu kerasnya pula hati kita untuk mampu mencerna pesan-pesan ilahiah yang terkandung. Kita baru mampu "memahami" isyarat-isyarat Tuhan dengan gambaran yang kurang familiar dan bahkan kadang menyudutkan-Nya. Padahal Dia sungguh sangat pemaaf. Sangat pemurah. Sangat "manusiawi". Dan yang jelas, Ia selalu tak "sampai hati" menyaksikan hamba-Nya "keleleran. Kemahamurahan-Nya, tetap mengalir walau anak manusia sudah di hadapan-Nya menjelang Hari Hisab. Meski gambaran neraka begitu kuat dan mampu membuat bulu kuduk berdiri kaku, darah berhenti mengalir, harapan tercekat di kerongkongan, denyut jantung berhenti, tetapi rahmat dan maaf Allah melampaui itu semua. Karena itu, marilah bersaing menjadi pemurah dan pemaaf. Di balik semua kejeliataan sikap ini, Allah tak pernah menuntup Gerbang Kekuasaan-Nya bagi semua makhluk manusia.
Syahdan, demikian sahabat Abu Hurairah soal sebuah hadits qudsi dari Baginda Rasul Muhammad [firman Allah yang tak tertulis dalam Alquran dan diriwayatkan oleh perawi kenamaan Muslim, terdapatlah seorang anak manusia yang mendapatkan tiket urutan paling buncit menjelang berakhirnya Hari Hisab. Ketika semua anak manusia sudah berhadap-hadapan dengan Gusti Allah di hari yang mendebarkan itu, ia berdiri di antara surga dan neraka. Satu kakinya bahkan sudah menyentuh bibir neraka. Tak ada satu titik dzarrah kebaikan pun yang ia miliki. Semua amalannya terkuras, dan tragisnya kini ia justru memikul kedzaliman, kepelitan, ketidakpedulian terhadap sesama, serta prilaku durjana lainnya selama di dunia. Tak ada yang bisa membantunya kecuali Allah. Untuk diketahui, dialah ahli surga yang terakhir memasuki surga. Kalau calon anggota legislatif, ia mendapatkan nomor sepatu, kalau di sekolah ia pemilik ranking ke-30 dari tiga puluh murid, ia seperti kandidat ketua umum sebuah partai yang tidak memenuhi angka penjaringan, ia bak calon penyanyi yang membawa koper karena tidak lolos eliminasi. Begini cerita hadits qudsi tersebut..
Si hamba lalu berseru, "Aduh Tuhanku! Palingkanlah mukaku dari api neraka. Baunya menyiksaku dan panasnya membakarku." Maka ia memohon kepada Allah, sesuai dengan kehendak Allah tentang dia yang bermohon kepada-Nya. Lantas berfirman Allah Yang Maha Berkah dan Maha Luhur. "Bukankah bila Aku melakukan hal itu untukmu, engkau akan meminta yang lain?" tanya Gusti Allah. Si hamba menjawab, "Sungguh, hamba tidak akan meminta kepada Engkau yang lain lagi," katanya penuh harap dan cemas.
Lalu ia memberikan kepada Tuhannya yang Maha Agung lagi Luhur berbagai perjanjian dan ikatan, demikian Allah menghendakinya, kemudian Dia memalingkan muka si hamba dari api neraka. Begitu mukanya sudah menghadap ke surga, ia tercekat, terdiam, karena demikianlah yang dikehendaki Allah. "Robbi! Majukanlah hamba ke gerbang surga," katanya merajuk.
"Bukankah telah kauberikan perjanjianmu untuk tidak meminta yang lain selain ini. Bagaimana engkau hai anak Adam! Alangkah khianatnya dirimu," firman Allah menjawabnya. Si hamba lantas bersembah, "Aduh Tuhanku," serunya merajuk, demikian Dia menginginkannya. "Bukankah kalau Aku memeberimu yang ini lantas engkau akan meminta yang lain?" tanya Gusti Allah.
Ia bersembah, "Tidak, demi keagungan-Mu," kata si hamba berjanji. Maka Allah pun membawanya ke gerbang surga. Begitu di hadapan si hamba terhampar surga, matanya terbelalak. Ia menyaksikan segala bentuk kegembiraan, dan ia pun terdiam sebagaimana Allah menghendakinya untuk terdiam. "Aduh Tuhanku! Masukkanlah hamba ke dalam surga-Mu. Ya Robbi, janganlah hamba menjadi hamba-Mu yang paling malang," pintanya merayu. Ia terus merajuk, demikian Allah menghendakinya, hingga Allah tertawa karenanya.
Ia lantas berfirman, "Masuklah engkau ke dalam surga!" perintah Allah. Ketika ia melangkah kakinya ke surga, Allah berfirman kepadanya, "Sebutkanlah segala keinginanmu!" Maka si hamba meminta apa saja yang diinginkannya dan yang diangankannya, sampai-sampai Allah menawarkannya ini dan itu yang tidak sempat disebutkan oleh si hamba. Ketika semua cita-citanya sudah habis disampaikan, kepadanya Allah berfirman, "Itu semua jadi milikmu, ditambah lagi dengan yang senilai dengan itu."
Kalau kita mau berdekat-dekatan denga-Nya, lantas apa beratnya kalau kita meniru sikap-Nya agar menjadi pemaaf, berlomba menjadi pemberi, tulus menyantuni saudara yang lagi kekurangan, merasa sama dan sederajat, serta tidak tertawa di atas penderitaan orang lain. Wallahhu A'lamu Bishshowaab.
(KH A Hasyim Muzadi)
0 Comments:
Post a Comment
<< Home