Cinta... (fully inspired by M Sobary)
Saya membaca sesuatu tentang Cinta yang maknanya cukup dalam. Tentang seseorang yang hidup terbuang dan merana karena tak pernah memperoleh cinta. Ia terus-menerus didera pertanyaan, apa artinya cinta, dan cinta pun lalu terasa menjadi tema pokok kisah hidupnya.
Lama-kelamaan, seiring dengan makin matangnya kepribadiannya, seseorang ini menyadari bahwa ia tampaknya keliru, telah terlalu banyak bertanya tentang apa makna cinta, tapi tak pernah terlintas dalam benaknya untuk berpikir tentang apa hidup.
Mungkin hidup memang lebih penting daripada cinta, karena kita toh bisa hidup tanpa cinta.
Ada juga cerita yang melukiskan anak kecil yang hidup tanpa ibu. Tapi di sana dengan jelas digambarkan, manusia bisa hidup tanpa cinta seorang Ibu, tapi tidak tanpa Tuhan. Artinya, sebenarnya kita tak bisa hidup tanpa cinta.
Dan lagi-lagi kita dihadapkan pada perenungan bahwa dalam hidup, biarpun tanpa cinta, dan di saat kita sendirian, tampaknya selalu ada ”seseorang” yang mendampingi kita.
Dengan kata lain, kita selalu didampingi cinta. Tapi kita sering tak tahu. Dan kita tak menyadarinya. Maka, kita pun selalu bertanya apa makna cinta.
Mungkin, sebabnya, karena ada dua jenis cinta. Pertama, cinta yang berisik dan nyinyir, yang harus lahir dalam bentuk kata-kata. Cinta jenis ini mungkin tampak cerdas, penuh argumen, penuh penjelasan, dan karena itu bisa menggema ke mana-mana.
Tapi cinta macam ini agak mudah diobral. Soalnya cinta bisa diperoleh dengan cepat dan risikonya bisa dilupakan dengan cepat pula. Cinta, jatuh cinta, dan menerima cinta, menjadi urusan teknis dan rutin, seperti urusan birokrasi kantor.
”Jadi ini bukan cinta?”
Tetap cinta juga namanya. Tapi ini jenis cinta hiasan bibir. Kita punya cinta dalam sosok lain lagi. Ini cinta dalam renungan Gibran.
”Cinta tidak memiliki ataupun dimiliki. Karena cinta telah cukup untuk cinta.
Cinta tiada berkeinginan selain untuk mewujudkan maknanya”
Dan bagi Gibran, bila benar orang memiliki cinta, maka ia tak akan berkata ”Tuhan ada di dalam hatiku”, melainkan sebaliknya: ”Aku berada di dalam Tuhan”.
Ini jelas bukan cinta hiasan bibir, melainkan mahkota hati. Ini bukan cinta yang meriah dan ceriwis, melainkan cinta yang diam, tak terukur, tak bisa dipamerkan di depan siapa pun.
2 Comments:
Waahh tulisannya bagus banget!!!
aku seneng banget sama tulisanmu yang ini.Sipp!!!
Post a Comment
<< Home