Ngono yo ngono, ning ojo ngono...
Rasanya memang benar... Hidup ini begitu2 saja. Orang pun berkecenderungan begitu2 saja dalam melakukan tindakan. Hanya memang dari sisi kita, hidup ini harus terus berarti. Paling tidak, saya berusaha keras untuk berprinsip selalu menjalani hidup ini dengan antusiasme yang tinggi, apapun yang terjadi.
Benar juga ulasan Kang Sobary, mengenai bencana. Beberapa hari setelah bencana, akan tiba suatu hari yang susah-senang, cemas-tenteram silih berganti dan lama-kelamaan rasa tenteram menjadi permanen. Di sana lantas ada senyum, senda-gurau, saling menertawakan dan ejek-mengejek—untuk menertawakan kegetiran nasib—.
Saya lakukan itu... Sering saya menertawakan diri sendiri di hadapan teman2 sebagai suatu usaha untuk membuat tenteram.
Hidup untuk hari ini, sesudah itu ngga usahlah dipikir...
Lalu hidup bergairah kembali (tetap dengan rasa getir). Mulai pada satu rutinitas, mencoba menjalankan hidup sebagaimana orang lain menjalankan hidup. Mulai menikmati pagi hari berangkat mencari sesuap nasi. Mulai pulang, sampai di rumah, berolahraga sebentar. Lalu ikutan sembahyang di masjid (hanya jika benar2 hati berasa tenang), ambil remote TV, bersantai nonton TV... Tapi belum bisa sepenuhnya memang. Ada yang kurang. Tidak ada yang diajak berkomentar dan berdiskusi, tentang tayangan TV yang sedang ditonton. Jadinya memang hambar... Tapi paling tidak, berusaha untuk "sibuk".
Pelan-pelan, bertahap saya ingin mencoba menata kembali kehidupan ini, dengan lebih rapi. Membangun lagi... Tidak akan pernah sampai pada semboyan "Badai Pasti Berlalu", memang. Karena kehilangan yang ini, tidak akan pernah terlupakan dalam hidup saya. Dan malah telah menjadi tujuan hidup, untuk kelak kembali bersama di alam yang lain, yang mengijinkan kami berdua kembali, berbagi lagi.
Memang mungkin akan ada lagi bencana dalam hidup ini. Tapi rasanya ngga ada lagi yang harus dikhawatirkan, karena saya sudah merasa ngga ada lagi pilar yang akan roboh, karena bagi saya, semuanya sudah roboh dan sudah tidak ada yang perlu disesali...mungkin.
Ini yang kata Kang Sobary adalah cermin "relativisme" dalam cara orang Jawa memandang hidup. Sering relativisme lahir dalam humor getir, "black humor", sering pula menjadi tanda optimisme. Tapi tak jarang pula mewakili ketidakjelasan sikap "ngono yo ngono, ning ojo ngono" (begitu ya boleh tapi jangan begitu) bagi orang yang bukan Jawa mungkin tak ada artinya dalam hidup.
Pilihan-pilihan hidup sekarang, juga memperkuat hal ini. Akhirnya berlakulah sikap ini... Juga sikap harap-harap cemas tentang apa yang diinginkan dalam hidup ini, tentang hasil yang kita harapkan setelah kita berusaha. Tidak sepenuhnya kuat dalam memegang prinsip memang. Ada tarik ulur... Saya ngga tahu, apakah ini juga semakin menguatkan saya pada kultur Jawa Timuran, kultur Mojopahit. Kultur tarik ulur dalam kekuasaan untuk mencari kemenangan. Satu definisi yang terlalu multi dimensi.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home