Monday, August 28, 2006

Love Nurture

Rapat akhir minggu ini banyak sekali membicarakan tentang "nurture". Kawan yang lebih senior mengatakan begini: "Seperti semua sistem yg baru di-implement, setiap produk yang kita hasilkan ibarat bayi yang harus di-nurture & dirawat sampai bisa duduk, berjalan dan makan sendiri. Jadi mari sama2 kita perhatikan, rawat dan pelihara untuk bisa memberikan manfaat maksimal bagi stakeholder kita. Termasuk di antaranya continuous socialization ke semua pihak terkait & potential users."

Lalu kita bicara tentang profil Presiden Amerika. Saya mengajukan satu contoh Franklin Delano Roosevelt (kebetulan saya membaca artikel yang berkaitan dengan dia). Tentang kebijakannya dalam pemahaman tentang kebenaran. Tentang yang kita butuhkan adalah bukan kebenaran, tapi “wisdom”. Karena ternyata kebenaran itu bertingkat-tingkat dan bukan hitam-putih.
Ada juga yang bilang sikap seperti ini bisa juga dikategorikan sebagai “perfectly moderate”.

Lain lagi teman saya mengajukan contoh Abraham Lincoln. Yang akhirnya dia berubah 180 derajat setelah pernah ditantang main anggar sampai mati, dan sejak saat itu, jika dia marah, dia akan menulis kemarahannya di selembar surat. Setelah selesai surat itu dimasukkan ke dalam lemari dan dikunci. Lalu dia ngga marah lagi, dan surat-surat ini ditemukan setelah dia meninggal.

Saya menghubungkan kejadian-kejadian ini dalam bagaimana saya harus bersikap pada kehidupan percintaan yang ada. Berawal dari kumpul-kumpul santai dengan teman kuliah dulu, mereka berusaha keras untuk membantu lepas dari masalah saat itu, membuka hati untuk seseorang yang baru. Enggan awalnya, untuk apa dan bagaimana memulai. Setelah diyakinkan berkali-kali, dan ketika kesempatan itu datang, dimulailah cerita hidup yang baru.

Stranger itu datang... Sekedar melihat sedetik pertama, seolah sudah mengenal beberapa waktu yang cukup lama. “Love at the first sight”…mungkin.
Saya tahu ada sesuatu yang istimewa dalam pertemuan yang pertama itu. Tentu ada harap-harap cemas, karena di saat yang bersamaan sudah muncul pertanyaan.
Saya dapatkan nomor telponnya, saya berusaha untuk menghubungi.
Pertemuan-pertemuan selanjutnya hingga tiga bulan pertama, sangatlah berkesan dan memberikan satu pengharapan esok yang lebih cerah. Dan saya mulai mengenal...

Seperti laiknya siklus inspeksi pada suatu peralatan di industri perminyakan: complete-minor-major-complete-minor-major- dan seterusnya, sampai di sini tahapan yang tercapai adalah complete (after commissioning). Lalu “peralatan” mulai dijalankan, muncullah “minor error” atau “minor damage”. Sesuatu yang wajar... Yang mungkin ngga wajar adalah sikap saya menghadapi itu. Padahal ini adalah proses pemupukan (nurture), seperti yang saya tulis pada paragraph pertama di atas. Atau juga bisa jadi, output yang diharapkan lebih besar, sehingga tidak sempat terjadi “risk mitigation”, “peralatan” ini dijalankan seperti pada tahapan complete selama bulan ke-empat dan sekarang. Tahu sendiri akibatnya, yang muncul adalah major error/damage. Di tahap ini, saya mulai menyadari consequences dari semuanya, juga probability of failures-nya.
OK, saya petakan kasus ini ke “risk matrix” kehidupan saya. Cukup mengejutkan karena setelah dianalisis secara mendalam, kasus ini melebihi kategori “low-risk”. “Damage mechanism” sudah ketahuan, dan “Inspection Planning” untuk “Risk Mitigation” telah terprogram. Perlu banyak asumsi, dan kita juga perlu keakuratan. Susahnya, karena ini adalah kehidupan percintaan, yang masih sangat premature, melibatkan dua budaya yang berbeda, melibatkan rasa toleransi yang tinggi, diperlukan kesabaran dan pemahaman perbedaan yang sangat bertingkat dan berwarna, sesuai dengan paragraph kedua yang saya tulis.

Kenapa kok ini perlu dilakukan? Karena ternyata masalah hati ini sangat sulit. Kita tahu, dalam kehidupan ini, perubahan dari senang ke sedih dan sebaliknya bisa cepat. Dan ternyata cinta juga demikian, bisa seperti suhu di permukaan bulan. Panas ratusan derajat di siang hari, dingin ratusan derajat di malam hari...:D.
Yang seharusnya saya lakukan menghadapi yang demikian adalah sesuatu seperti yang saya tulis di paragraph ketiga, seperti pasrah dan sabar, kata orang alim...
Kenapa lagi? Karena saya sudah terlanjur sayang...

0 Comments:

Post a Comment

<< Home