Friday, July 29, 2005

KMNU: Arland's email

Assalamu 'alaikum wr. wb.
Bismillah, Walhamdulillah Wassholatu Wassalamu `Ala Rasulillah, Wa'ala Aalihie Washohbihie Waman Walaah amma ba'du...


Pak Hakim yang diRahmati Alloh SWT.
Semoga bapak tabah dalam menghadapi segala cobaan dalam hidup, termasuk cobaan ditinggal istri selagi hati anda sangat mencintainya. Mudah-mudahan Alloh SWT cepat memberikan pengganti yang lebih baik, amien...

Sehubungan dengan hubungan kita Ahli Kubur, hendaknya jangan ragu-ragu lagi bilamana anda merasa kangen dengan istri untuk mengirimkannya bacaan-bacaan Al-Qur'an, minimal sehabis sholat kita kirimkan bacaan Alfatihah, akan lebih baik lagi bacaan bacaan lain yang kita bisa kirimkan dan sempat mengirimkannya.
Konon kata ulama, kebahagiaan ahli kubur ketika mendapatkan kiriman bacaan Al-Qur'an atau pahala jariah yang kita niatkan untuknya, laksana seorang tahanan yang didalam penjara menerima kunjungan famili yang membawa bungkusan makanan yang selama ditahanan itu diidam-idamkan.
Jadi begitulah gambaran ulama tentang bacaan-bacaan yang kita niatkan untuknya.

Kemudian soal pertemuan anda kelak dengan istri, Insya Alloh kalian akan berjumpa lagi.
Entah itu dialam ruh atau di alam syurgawi, mudah-mudahan hal itu dapat terwujud, amien.
Konon kata ulama, seorang istri yang meninggal dunia mendahului suaminya, 2 hal yang terpenting, yaitu menjalankan syariat yang sudah diwajibkan Alloh SWT terhadap dirinya, dan Ridho dari suaminya.
Apabila 2 hal ini didapatkannya didunia, maka insya Alloh Syurga tempatnya.
Dan si istri tetap dapat berjumpa dengan suaminya sepertimana di dunia lakonnya sebagai istri juga, walaupun didunia sepeninggalnya suaminya menikah lagi dengan wanita lain.
Karena Ijab pernikahannya berlaku dunia wal akhiroh.

Berbeda dengan istri yang ditinggal mati lebih dahulu oleh suaminya, bilamana sepeningal suaminya si istri menikah lagi dengan laki-laki lain, maka secara otomatis ulama mengatakan si istri tak akan berjumpa lagi dengan suami pertamanya.
Dia akan dipertemukan dengan suami terakhirnya sebelum si istri meninggal,pernikahan itulah yang berlaku yaitu pernikahan yang paling akhir.

Demikian tanggapan saya yang saya dapatkan dari beberapa ulama.
Semoga bermanfaat.

wassalam,

Thursday, July 28, 2005

Gus Dur's Thoughts

Karenanya, perkembangan keadaan harus diikuti dengan penuh kecermatan. Hal-hal yang benar-benar perlu diubah harus mengalami perubahan, kalau perlu diganti. Orang-orang Kristen Mormon di AS abad lampau harus menerima bahwa Undang-Undang di negeri itu yang melarang orang kawin lebih dari seorang istri, walaupun ajaran semula dari kaum itu memperkenankan empat orang istri. Perubahan seperti itu, menunjukkan dengan nyata bahwa hal tersebut merupakan bagian dari upaya melestarikan dan membuang yang terjadi dalam sejarah manusia, bukan?
--------------

Memang, kita harus arif dan bijaksana dalam mengemudikan masyarakat. Proses besar yang terjadi tidak dapat diselesaikan dengan tindakan serba keras, melainkan dengan tindakan-tindakan yang berprespektif jangka panjang dengan mencari jawaban yang tepat. Ini adalah bagian dari proses melestarikan dan membuang, yang ada dalam sejarah manusia, bukan?
--------------

Sebenarnya, memang ada perbedaan mendasar antara NU dan PKB. Ini dapat dilihat dalam 2 hal, yaitu masa lampau NU dan masa depan PKB. NU didirikan tahun 1926, tetapi sebenarnya ia bermula dari langkah yang diambil oleh Sultan Hadiwijaya dari Kerajaan Demak. Di saat itu, ia dikalahkan dalam perang tanding melawan Sutawijaya, yang belakangan menggunakan gelar Panembahan Senopati Ing Ngalaga Sayidin Panatagama Kalipatullah Ing Tanah Jawi, dan menjadi pendiri Dinasti Mataram. Ketika kalah dalam perang tanding tersebut, Hadiwijaya lari ke Sumenep untuk meminta pertolongan ibunya, Kanjeng Ratu Putri di Astana Tenggi . Wanita ningrat yang juga menjadi pembawa tarekat qadiriyah ke Pulau Madura itu memberinya 40 macam kesaktian/ kanuragan kepadanya.
Dalam perjalanan pulang ke Pajang, Sultan Hadiwijaya singgah di pulau Pringgoboyo (sebelah selatan Paciran di Lamongan) di sana ia bermimpi didatangi oleh gurunya, yang menyatakan tidak ada gunanya ia kembali ke Pajang untuk memperebutkan tahta kerajaan, karena ia akan tetap kalah melawan Sutawijaya. Ia menurut perintah gurunya, dan tinggal di Pringgoboyo itu kemudian membuka sebuah pondok pesantren. Maka bermulalah sebuah tradisi baru {pondok pesantren} yang menjadi alternatif tradisi kraton besar di pusat kerajaan. Pondok pesantren merupakan kekuatan tersendiri, yang melaksanakan sistem nilai baru (kesantrian) sebagai sesuatu yang memiliki kemampuan seimbang dengan kraton.
.... Dengan memahami perbedaan masa lampau dari masa depan, kita akan memperoleh daya gerak untuk mempertahankan daya gerak itu sendiri. Ini berlaku untuk semua pihak, dan selalu berulang kali terjadi kalau diperhatikan dengan teliti. Maka hanya pihak yang bersedia melakukan penyesuaian/adaptasi masa dahulu kepada masa depan saja yang akan mampu bertahan dalam kebesaran masa lampau. Inilah yang sebenarnya merupakan kemampuan melanggengkan dan menghilangkan apa yang kita kehendaki, sebagai bagian dari proses yang lumrah terjadi dalam sejarah manusia, bukan?
--------------

Sebagai seorang pemerhati perkembangan internal Gereja tersebut, penulis tentu saja mempunyai pendapat sendiri mengenai sikapnya tersebut. Tetapi penulis dapat mengerti perasaan dan jalan pikiran mendiang Sri Paus Yohanes Paulus II. Walaupun konservatisme yang diperlihatkan Beliau, tidak sedikitpun mengurangi gerak Gereja itu di bidang kemasyarakatan. Kombinasi dua hal itu -konservativisme dan bidang kemasyarakatan- sekaligus di satu masa, adalah sebuah keunikan yang jarang terjadi dalam sejarah manusia.
Perlu diingat akan sikap Paus Yohanes Paulus II yang memberikan maaf kepada Mehmet Ali Agca seorang berkebangsaan Turki yang menembaknya, disamping sikap-sikapnya yang menentang perang, menunjukkan kepribadian Beliau yang sangat menarik. Di tengah-tengah berbagai bencana alam, seperti gempa bumi di Pulau Nias dan Pulau Simeuleu, sikap Paus Yohanes Paulus II itu menunjukkan sesuatu yang sangat menyegarkan dalam hubungan antar manusia. Melalui tulisan ini, penulis menyampaikan SELAMAT JALAN dan SELAMAT BERPISAH UNTUK SEMENTARA kepada tokoh kita ini.

...The Spiritual Guide: Other Paths of Discovery (Part III)

Tuhan Pun Merasa Terheran-heran

Tuhan yang kita "kenal", amatlah tidak memadai untuk menandai isyarat-isyarat keberadaan-Nya. Kepada kita cuma dijejali gambar-gambar tidak utuh soal Dia Yang Maha Apa Saja ini. Tentu karena keterbatasan materi yang mampu diserap oleh akal kita, maka yang sosok Tuhan hanya muncul dalam sketsa yang buram. Maka lahirlah figur-Nya yang keras, pengecam, pengancam, pemberi azab, penyiksa di alam kubur, penghancur kenikmatan dan segala macam sifat yang menyeramkan.

Di usianya yang amat dini, karena ingin dikategorikan sebagai orang tua yang bertanggung jawab dengan niat menanamkan nilai-nilai agama, di memori anak kita, kita tanamkan kuat-kuat tentang Tuhan yang kedatangannya, sungguh mendebarkan, menyebutkan nama-Nya saja mengguncangkan jiwa, dan membayangkan-Nya membuat bulu kuduk merinding dan bahkan menakutkan. "Jangan bohong, nanti masuki neraka!" "Kalau nakal, nanti dosa lho!" "Kalau tidak nurut orang tua, bisa celaka dan dibenci Allah!" Demikian antara lain, secara samar tetapi pasti setiap saat anak kita bergaul dengan Tuhan yang sama sekali tidak ramah dan jauh dari bersahabat.

Padahal, Tuhan adalah sosok yang sangat berperasaan, sangat penyantun, Maha Bertobat (At-Tawwab), Maha Bersyukur (As-Syakuur), Maha Damai [(As-Salaam), Maha Lembut (Al-Latiif), Maha Penyabar (As-Shobuur) dan sifat-sifat lainnya yang sungguh menyejukkan hati. Semua sifat ini, setiap saat, dengan standar dan jamaliyahnya yang tentu saja berbeda karena Dia bersifat Mukhoolafatuhu Lil Hawaadits dapat dilihat pada diri kita sebagai manusia. Apakah dengan demikian kita lantas heran, kenapa Tuhan bisa bersifat seperti itu? Kalau iya, maka kita perlu untuk kesekian kalinya mengeja ulang satu persatu Al-Asmaa-ul Husna; 99 nama-nama Tuhan Yang Agung. Dari deretan nama-nama itu tentu dengan mudah kita dapat menemukan dokumen seputar Tuhan yang sungguh indah, sejuk dan menyegarkan.

Dalam beberapa firman-Nya, Dia malah mengenalkan dirinya sebagai sosok yang pemalu, suka bersedih, dan gemar berasykik masyuk dengan segenap kekasih-Nya, para auliyaa, shalihin dan syuhada. Dalam firman-Nya yang lain, misalnya, Tuhan setiap memasuki tengah malam, Tuhan turun ke langit dunia duduk di singgasana-Nya, bersabar menunggu para kekasihnya terbangun untuk bercengkerama dalam shalat, dzikir serta lantunan Kitab Suci. Anehnya, begitu Tuhan menunggu di seberang jalan, kita sebagai hamba, justru tertidur seperti bangkai seakan Tuhan tidak pernah ada, Dia kita tentang seakan Dia tertidur dan kita campakkan firman-Nya seakan Dia tengah beristirahat. Sungguh!

Mari kita simak secara seksama firman Allah di bawah ini, masih seputar rasa perasaan-Nya, begitu menyaksikan tingkah laku manusia. "Ajibtu Li Man Ayqona Mil Maut Kayfa Yafroh" (Aku sungguh heran, kenapa manusia yang yakin dengan akan datangnya kematian, hidupnya selalu dipenuhi dengan canda dan tawa). Kemarin merupakan sebuah tahapan menuju gerbang akhirat. Percaya kepada Hari Akhir merupakan salah satu sendi keimanan kita. Kamatian, dengan amat mudah kita jadikan ukuran soal sudah seberapa benarkah bangunan keimanan kita. Rangkaian kematian terjadi setiap detik, setiap menit, setiap jam, setiap hari. Dalam setahun, tak terhitung sudah berapa nama masuk daftar "korban" pencabutan nyawa oleh Malaikat Izroil. Kita selalu yakin maut berkepak setiap saat di ujung rambut kita, tetapi jarang sekali kita mengurangi canda dan tawa, seakan maut sudah menyudahi tugasnya.

"Ajibtu Li Man Ayqona Bil Hisaab Kayfa Yajma’ul Maal" (Aku juga sungguh heran, kenapa mereka tiada henti menumpuk harta, padahal hisab akan memberatkan mereka). Karena kita terbiasa memohon karunia, memelas agar diberi kenikmatan hidup, berharap memperoleh kekayaan yang berlimpah, maka seringkali kita lupa bahwa semuanya ini akan berakhir dan tak akan pernah kita bawa ke dalam liang kubur. Anak-anak yang kita banggakan, paling jauh hanya akan mengantar ke sisi lubang kubur dan harta yang dengan berbagai macam cara kitab kumpulkan, hanya menyisakan tak lebih dari selembar kain kafan. Mereka tidak akan menemani kita di himpitan tanah yang sempit, sunyi, sepi, dan terasing. Kita hanya akan ditemani oleh amal-amal saleh kita. Kini, mari berhitung, sudah seberapa besarkah amal saleh kita ?

"Ajibtu Li Man Ayqona Bil Aakhirah Kayfa Yastariih" (Aku sungguh heran, mereka yang yakin akan datangnya Hari Akhir tetapi masih saja bersantai-santai). Sampai kapan kita akan berhenti berhayal soal kenikmatan hidup, kebanggaan diri, tingginya derajat dan kemuliaan di mata manusia? Semua ini tidak akan pernah terhenti kalau keyakinan akan segera tibanya Hari Kiamat tidak mampir dalam benar kita. Seakan kita berkuasa mengatur, kita baru akan berhenti bersantai-santai ketika umur sudah di ujung dan usia sudah menjelang senja. Tanda-tanda dari Tuhan seperti kian memutihnya rambut kita, tak juga mampu memalingkan kita bahwa dalam waktu tak lama lagi kita akan mudik ke kampung halaman yang abadi. Kita berjuang keras, menyikut kawan seiring, memeras hanya untuk sebuah bekal ke kampung yang cuma beberapa hari saja tetapi kita justru lupa mengumpulkan bekal untuk sebuah perjalanan panjang ke negeri akhirat.

"Wa 'ajibatu Li Man Ayqona Bid Dun-ya Wa Zawaalihaa Kayfa Yathmainnu Ilayhaa" (Dan Aku sungguh heran kenapa mereka yang yakin dengan dunia serta kehancurannya tetapi masih menggandrunginya). Betapa banyak di antara kita yang merasa sungguh aman, ketika pangkat berbintang-bintang dan jabatan di eselon paling tinggi. Seakan bintang dan eselon membuat kita akan bertahan selamanya. Harta kekayaan yang kita tumpuk, menjelma sebuah kekuatan dahsyat, seakan mampu menyelamatkan kita dari sergapan maut dan ajal. Kecantikan dan kemolekan tubuh, seakan bisa membuat para pencabut nyawa bertekuk letut karena terpesona. Keindahan paras wajah tak mungkin membuat malaikat berselendang api ini, luluh karena dirasuki birahi. Tak peduli kaya raya, pangkat tinggi, puncak eselon, tubuh yang molek, air muka yang menghanyutkan, desah yang menggairahkan, akan mampu mempertahankan kita begitu maut menjelang. Sungguh!

Rangkaian firman ini, merupakan bentuk nyata dari betapa dekat-Nya Tuhan dengan kita sebagai manusia. Sifat-sifat yang Dia ciptakan untuk kita, merupakan "tetesan" dari sifat-sifat-Nya Yang Agung. Kalau mampu meniru sifat-sifat-Nya yang "Kamal dan Jamal", maka kita dijanjikan Allah akan menduduki sebuah derajat di atas derajat termulia para al-Malaaikah al-Muqarrobin. Tetapi kalau tidak tak mampu juga menyerap sifat "Kamal dan Jamal" Allah, maka kita akan terpental jauh ke jurang kenistaan, ke lembah kesesatan tiada ujung, hingga hingga kita dijamin oleh Allah untuk bisa lebih hina dari binatang bahkan dari setan sekalipun. Kenapa Tuhan terheran-heran? Itu semua tak lebih karena Allah jelas-jelas sudah menurunkan petunjuk tetapi kita mengabaikannya. Sampai kapan pun, Tuhan akan tetap terheran-heran. Wallaahu A'lamu Bishshowaab.

(KH A Hasyim Muzadi)

...The Spiritual Guide: Other Paths of Discovery (Part II)

Begitu Dirayu, Allah Pun Tertawa

Kita sebagai sebuah bangsa, tak habis mengerti kenapa musibah datang beruntun seperti tak hendak menjauh dari garis nasib. Belum tuntas sebuah program pemulihan akibat terjangan musibah, mendadak datang kembali musibah lainnya di daerah yang lain pula. Alam seperti hendak meledek kita, para awam dan para pakar, betapa kita tidak memiliki apa-apa untuk bisa menandingi keperkasaan apalagi mengalahkan alam.

Setelah sekian puluh tahun alam ini kita eksploitasi, tahu-tahu ada gelombang tsunami yang meluluhlantakkan apa saja, gempa yang menelan hidup-hidup anak manusia, dan kini seperti bersatu dalam paduan koor, gunung-gemunung berapi bersiap memuntahkan apa saja yang dikandungnya. Lahar, lava dan percikan api siap menjadi lautan api. Kalau merujuk kepada riwayat-riwayat klasik, rangkaian ini sudah mirip dengan tanda-tanda kiamat kecil. Kejadian yang membuat dada sesak, rambut memutih, air susu ibu mengering, bayi-bayi mendadak dapat beban orang dewasa, bukankah ini sesuatu yang ajaib. Di balik semua kegusaran alam ini, Allah bertahta di Singgasana-Nya.

Kita sebagai bangsa, pernahkah memutar balik jarum hati kita kepada tujuan akhir kita akan pulang? Pernahkah terlintas keyakinan secara sungguh-sungguh bahwa Allah itu Maha Ada, sehingga semua persoalan kita pulangkan kepada-Nya ? Ini menjadi penting agar persepsi kita tentang diri kita, benar adanya di hadapan alam semesta, di antara manusia, dan yang terutama benar di hadapan Robbul 'Izzati. Meski musibah menerjang, belum pernah hal itu langsung membuat kita berada dalam satu barisan.

Kita masih saling menyalahkan, saling menuding, yang satu memanfaatkan yang lain, kesempatan berbenah disulap menjadi kesempatan melakukan tindak koruptif. Kata, maaf, baru meluncur kalau saudara kita datang mengiba-iba, kita memaafkan kalau seseorang sudah benar-benar hina di hadapan kita. Mau memberi kalau sudah diminta. Meminta-minta seperti tak kenal rasa malu. Memberi dengan berharap mendapatkan yang jauh lebih besar. Bangga karena memberi. Tak pernah sadar bahwa apa yang ada pada kita hanya titipan. Sesuatu yang sungguh tak akan pernah kita bawa mati. Jujur harus diakui, musibah apa pun yang diturunkan Allah selama ini, belum benar-benar mengubah orientasi kita dalam kehidupan bermasyarakat. Di balik semua kekerasan hati kita ini, Allah bersemayam di Kursi Arasy-Nya.

Tampaknya, belum pernah tercatat dalam sejarah kehidupan manusia pascazaman batu, ada prahara seperti musibah yang begitu akrabnya dengan kita tetapi begitu kerasnya pula hati kita untuk mampu mencerna pesan-pesan ilahiah yang terkandung. Kita baru mampu "memahami" isyarat-isyarat Tuhan dengan gambaran yang kurang familiar dan bahkan kadang menyudutkan-Nya. Padahal Dia sungguh sangat pemaaf. Sangat pemurah. Sangat "manusiawi". Dan yang jelas, Ia selalu tak "sampai hati" menyaksikan hamba-Nya "keleleran. Kemahamurahan-Nya, tetap mengalir walau anak manusia sudah di hadapan-Nya menjelang Hari Hisab. Meski gambaran neraka begitu kuat dan mampu membuat bulu kuduk berdiri kaku, darah berhenti mengalir, harapan tercekat di kerongkongan, denyut jantung berhenti, tetapi rahmat dan maaf Allah melampaui itu semua. Karena itu, marilah bersaing menjadi pemurah dan pemaaf. Di balik semua kejeliataan sikap ini, Allah tak pernah menuntup Gerbang Kekuasaan-Nya bagi semua makhluk manusia.

Syahdan, demikian sahabat Abu Hurairah soal sebuah hadits qudsi dari Baginda Rasul Muhammad [firman Allah yang tak tertulis dalam Alquran dan diriwayatkan oleh perawi kenamaan Muslim, terdapatlah seorang anak manusia yang mendapatkan tiket urutan paling buncit menjelang berakhirnya Hari Hisab. Ketika semua anak manusia sudah berhadap-hadapan dengan Gusti Allah di hari yang mendebarkan itu, ia berdiri di antara surga dan neraka. Satu kakinya bahkan sudah menyentuh bibir neraka. Tak ada satu titik dzarrah kebaikan pun yang ia miliki. Semua amalannya terkuras, dan tragisnya kini ia justru memikul kedzaliman, kepelitan, ketidakpedulian terhadap sesama, serta prilaku durjana lainnya selama di dunia. Tak ada yang bisa membantunya kecuali Allah. Untuk diketahui, dialah ahli surga yang terakhir memasuki surga. Kalau calon anggota legislatif, ia mendapatkan nomor sepatu, kalau di sekolah ia pemilik ranking ke-30 dari tiga puluh murid, ia seperti kandidat ketua umum sebuah partai yang tidak memenuhi angka penjaringan, ia bak calon penyanyi yang membawa koper karena tidak lolos eliminasi. Begini cerita hadits qudsi tersebut..

Si hamba lalu berseru, "Aduh Tuhanku! Palingkanlah mukaku dari api neraka. Baunya menyiksaku dan panasnya membakarku." Maka ia memohon kepada Allah, sesuai dengan kehendak Allah tentang dia yang bermohon kepada-Nya. Lantas berfirman Allah Yang Maha Berkah dan Maha Luhur. "Bukankah bila Aku melakukan hal itu untukmu, engkau akan meminta yang lain?" tanya Gusti Allah. Si hamba menjawab, "Sungguh, hamba tidak akan meminta kepada Engkau yang lain lagi," katanya penuh harap dan cemas.

Lalu ia memberikan kepada Tuhannya yang Maha Agung lagi Luhur berbagai perjanjian dan ikatan, demikian Allah menghendakinya, kemudian Dia memalingkan muka si hamba dari api neraka. Begitu mukanya sudah menghadap ke surga, ia tercekat, terdiam, karena demikianlah yang dikehendaki Allah. "Robbi! Majukanlah hamba ke gerbang surga," katanya merajuk.

"Bukankah telah kauberikan perjanjianmu untuk tidak meminta yang lain selain ini. Bagaimana engkau hai anak Adam! Alangkah khianatnya dirimu," firman Allah menjawabnya. Si hamba lantas bersembah, "Aduh Tuhanku," serunya merajuk, demikian Dia menginginkannya. "Bukankah kalau Aku memeberimu yang ini lantas engkau akan meminta yang lain?" tanya Gusti Allah.

Ia bersembah, "Tidak, demi keagungan-Mu," kata si hamba berjanji. Maka Allah pun membawanya ke gerbang surga. Begitu di hadapan si hamba terhampar surga, matanya terbelalak. Ia menyaksikan segala bentuk kegembiraan, dan ia pun terdiam sebagaimana Allah menghendakinya untuk terdiam. "Aduh Tuhanku! Masukkanlah hamba ke dalam surga-Mu. Ya Robbi, janganlah hamba menjadi hamba-Mu yang paling malang," pintanya merayu. Ia terus merajuk, demikian Allah menghendakinya, hingga Allah tertawa karenanya.

Ia lantas berfirman, "Masuklah engkau ke dalam surga!" perintah Allah. Ketika ia melangkah kakinya ke surga, Allah berfirman kepadanya, "Sebutkanlah segala keinginanmu!" Maka si hamba meminta apa saja yang diinginkannya dan yang diangankannya, sampai-sampai Allah menawarkannya ini dan itu yang tidak sempat disebutkan oleh si hamba. Ketika semua cita-citanya sudah habis disampaikan, kepadanya Allah berfirman, "Itu semua jadi milikmu, ditambah lagi dengan yang senilai dengan itu."

Kalau kita mau berdekat-dekatan denga-Nya, lantas apa beratnya kalau kita meniru sikap-Nya agar menjadi pemaaf, berlomba menjadi pemberi, tulus menyantuni saudara yang lagi kekurangan, merasa sama dan sederajat, serta tidak tertawa di atas penderitaan orang lain. Wallahhu A'lamu Bishshowaab.

(KH A Hasyim Muzadi)

My path of life, sometimes guided by these articles...

Pohon Ketulusan


Mohamad Sobary

Seorang lelaki tua selalu menghabiskan malam-malamnya untuk beribadah dan pada siang harinya tak ada yang ia lakukan kecuali berdoa.

Malaikat penjaga berbisik kepadanya, ”Pergilah, karena doa-doamu tak diterima di pintu (ampunan) ini.”

Lelaki tua itu tak peduli. Ia tetap gigih menghabiskan waktunya untuk terus beribadah. Seorang muridnya berkata, ”Ketika engkau melihat pintunya tertutup, mengapa engkau tak mendorongnya saja?”

”Oh, anakku, apakah engkau mengira hanya karena ia melepaskan kekangku lalu aku akan melepaskan genggamanku dari tali pelananya? Ketika doa ditolak di satu pintu, kita tak perlu khawatir karena masih ada pintu lain,” katanya penuh keyakinan dan sikap tulus.

Pada saat ia mengucapkan kata-kata itu sambil dalam posisi bersujud, malaikat turun membawa jawaban Tuhan.

”Meskipun tak ada kebaikan pada dirinya, doanya diterima karena ia tak punya tempat lain untuk berlindung selain kepada-Ku.”

Inilah nukilan pengalaman ahli ibadah yang saya petik dari ”Kisah-kisah di Taman Bunga” saduran dari ”Bustan”, buah renungan mistikus besar Syeikh Sa’di Syirazi.

”Apa arti orang tua ini bagi kita?”

Dia kita anggap pembawa racun kemalasan, karena meniupkan kebekuan hidup, semacam opium of the people dan karena itu harus diberantas sampai ke akar-akarnya?

Ataukah ia guru bijak sekaligus tabib terkemuka yang datang membawa sejenis ramuan atau rumus yang bisa menjadi inspirasi mengubah secara mendasar kehidupan kita?

Sejenak saya merasa agak bimbang. Sebagian dari kita gigih membela pendirian bahwa hidup itu bekerja, bahwa makna doa terletak dalam kerja, dan bahwa arti pengabdian terletak pula dalam kerja. Kerja itu ibadah dan ibadah sejati itu kerja, kerja, dan kerja.

Sebagian dari kita pendeknya mencemooh mereka yang mengisi hidup, tarikan napas, keluhan dan syukur, tangis, dan suka citanya dengan doa. Di sini doa dianggap kemalasan. Doa dipandang kebekuan hidup karena hidup harus ”mencair” dalam kerja karena kerja pula yang mengubah nasib dan mengubah dunia.

Bagi sebagian yang lain yang tulus dan teruji imannya, hidup ini doa. Kita hakikatnya hanya sekeping jiwa telanjang yang dari detik ke detik hanya bisa meminta dengan kerendahan peminta-minta sejati. Dan, apakah itu namanya, bila bukan doa? Hidup itu doa.

Ada contoh lain dari seorang kiai saleh di Jawa Tengah, yang lembut tutur katanya, serta bijak pandangan dan tingkah lakunya. Ia pedagang, tetapi di depan orang banyak sering menyampaikan sikap hidupnya dengan membuat tamsil bahwa manusia hakikatnya tak lebih dari peminta-minta di hadapan Tuhan.

Bila pemilik toko akhirnya terketuk hatinya melihat peminta-minta yang sabar berjongkok di depan tokonya, apa lagi Tuhan, Maha Raja Diraja dalam urusan belas kasih dan kemurahan hati.

”Tuhan tak akan tega membiarkan tangis yang keluar dari kedalaman jiwa kita berlalu tanpa jawaban,” katanya lembut.

”Maka, sekali lagi, apa arti kakek tua dalam kisah mistikus besar tersebut bagi kita di sini, sekarang?”

Saya punya jawabnya: kisah itu tak bermaksud mempertentangkan antara mereka yang mengutamakan kerja dan mereka yang menomorsatukan doa.

Saya kira, mistikus besar itu hendak menyodorkan kepada kita arti ketulusan hidup, tulus kepada diri sendiri, kepada orang lain, kepada masyarakat, dan kepada Tuhan. Dengan kata lain, orang tua itu cermin simbolis ketulusan.

Ketulusan mempunyai kekuatan seperti udara. Ia bisa bertiup dari satu tempat ke tempat lain tanpa terasa, tetapi kita merasakan hasilnya. Ketulusan selalu membawa rasa damai.

Di sini ketulusan bukan semata urusan psikologi. Memang benar, mulanya ia tumbuh sebagai gejala kejiwaan. Ia berkembang dalam pribadi seorang anak berkat orangtua, cermin super ego keluarga, gigih menyemaikan benih ketulusan itu ke dalam jiwa sang anak.

Di sekolah, benih itu disirami sang guru dan dipupuk serta ditambahi variasi lain yang menjadi bibit unggul. Di masyarakat, bibit unggul itu mendapat penguatan lebih besar.

Dan, tumbuhlah ia sebagai pohon ketulusan yang lebih kuat. Apalagi bila si anak juga mempunyai guru lain yang membesarkan pertumbuhan spiritualnya.

Maka, anak akan menjadi lebih penting ketika berorganisasi dan mempersembahkan ketulusannya di dalam pengabdian bagi orang banyak. Pengabdian yang dijiwai ketulusan akan membangun basis sosial dan politik yang lebih adil di dalam masyarakat.

Di NU, di Muhammadiyah, di Persis, di dunia Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, Konghucu, atau dalam satuan kebudayaan lain, ketulusan hadir untuk menata, bukan mendominasi, memberi inspirasi mengenai cara hidup lebih bijak.

Dengan begitu ia bukan hanya menjadi perekat bangsa, melainkan juga menjadi guru, sekaligus tabib, yang menyirami jiwa yang gersang dan penuh nafsu perang dan saling menghancurkan. Pohon ketulusan datang untuk meniupkan napas segar di tengah kesumpekan kita sekarang.