Thursday, August 31, 2006

The Strange of Changing Major to Minor

Last my article in Bahasa shows how much I want to insist my lust relationship. Amid much heart intensity of leave or stay, there is one or two logical thinking I should manage in my heart, indeed in my brain simulation, such handling the changing of major to minor of the intention/liability.

When you’ve got all the assumption, merely the worst case assumption, and in the same time you feel an impulse to soar what your want to have in your life, the frightened will be appeared, so clear… Then sliced once every single assumption become true.

Sometimes, like my mom said, don’t be greedy… I’d like to have a good concentration to creep in these solving problems. My dad also said, there is still an enough time to rethinking again about everything. All of my friends said it will undoubtedly be hurt more. All I need is to realize in time that this will be the best course to take.

Now, it’s like an alarm in my instances now. There are 3 options will be provided if you accept it: Dismiss, Dismiss All, or Snooze. I still want to click Snooze every time it reminds me.
I’d try to shift my choice to Dismiss now, though it makes me like “die” a little…

Because of what? I don’t know… I was thinking this is like Pluto phenomenon in my life. As everyone knows, Pluto joined our solar system’s family of planets in 1930. Seventy-six years later, as astronomers have discovered more and more orbiting bodies, including asteroids, comets, moons and as-yet-unclassified bodies, now, it concludes that Pluto as a dwarf planet.
But still… it doesn’t mean that I should disregard this “Pluto’s place” in my life, because… “it” hasn’t left the “solar system”; it’s just in a “new category”, that already “transformed” its power and influence in my life. “It” retains… as “it” continues to orbit “our Sun”.

Stay safe….

Monday, August 28, 2006

Love Nurture

Rapat akhir minggu ini banyak sekali membicarakan tentang "nurture". Kawan yang lebih senior mengatakan begini: "Seperti semua sistem yg baru di-implement, setiap produk yang kita hasilkan ibarat bayi yang harus di-nurture & dirawat sampai bisa duduk, berjalan dan makan sendiri. Jadi mari sama2 kita perhatikan, rawat dan pelihara untuk bisa memberikan manfaat maksimal bagi stakeholder kita. Termasuk di antaranya continuous socialization ke semua pihak terkait & potential users."

Lalu kita bicara tentang profil Presiden Amerika. Saya mengajukan satu contoh Franklin Delano Roosevelt (kebetulan saya membaca artikel yang berkaitan dengan dia). Tentang kebijakannya dalam pemahaman tentang kebenaran. Tentang yang kita butuhkan adalah bukan kebenaran, tapi “wisdom”. Karena ternyata kebenaran itu bertingkat-tingkat dan bukan hitam-putih.
Ada juga yang bilang sikap seperti ini bisa juga dikategorikan sebagai “perfectly moderate”.

Lain lagi teman saya mengajukan contoh Abraham Lincoln. Yang akhirnya dia berubah 180 derajat setelah pernah ditantang main anggar sampai mati, dan sejak saat itu, jika dia marah, dia akan menulis kemarahannya di selembar surat. Setelah selesai surat itu dimasukkan ke dalam lemari dan dikunci. Lalu dia ngga marah lagi, dan surat-surat ini ditemukan setelah dia meninggal.

Saya menghubungkan kejadian-kejadian ini dalam bagaimana saya harus bersikap pada kehidupan percintaan yang ada. Berawal dari kumpul-kumpul santai dengan teman kuliah dulu, mereka berusaha keras untuk membantu lepas dari masalah saat itu, membuka hati untuk seseorang yang baru. Enggan awalnya, untuk apa dan bagaimana memulai. Setelah diyakinkan berkali-kali, dan ketika kesempatan itu datang, dimulailah cerita hidup yang baru.

Stranger itu datang... Sekedar melihat sedetik pertama, seolah sudah mengenal beberapa waktu yang cukup lama. “Love at the first sight”…mungkin.
Saya tahu ada sesuatu yang istimewa dalam pertemuan yang pertama itu. Tentu ada harap-harap cemas, karena di saat yang bersamaan sudah muncul pertanyaan.
Saya dapatkan nomor telponnya, saya berusaha untuk menghubungi.
Pertemuan-pertemuan selanjutnya hingga tiga bulan pertama, sangatlah berkesan dan memberikan satu pengharapan esok yang lebih cerah. Dan saya mulai mengenal...

Seperti laiknya siklus inspeksi pada suatu peralatan di industri perminyakan: complete-minor-major-complete-minor-major- dan seterusnya, sampai di sini tahapan yang tercapai adalah complete (after commissioning). Lalu “peralatan” mulai dijalankan, muncullah “minor error” atau “minor damage”. Sesuatu yang wajar... Yang mungkin ngga wajar adalah sikap saya menghadapi itu. Padahal ini adalah proses pemupukan (nurture), seperti yang saya tulis pada paragraph pertama di atas. Atau juga bisa jadi, output yang diharapkan lebih besar, sehingga tidak sempat terjadi “risk mitigation”, “peralatan” ini dijalankan seperti pada tahapan complete selama bulan ke-empat dan sekarang. Tahu sendiri akibatnya, yang muncul adalah major error/damage. Di tahap ini, saya mulai menyadari consequences dari semuanya, juga probability of failures-nya.
OK, saya petakan kasus ini ke “risk matrix” kehidupan saya. Cukup mengejutkan karena setelah dianalisis secara mendalam, kasus ini melebihi kategori “low-risk”. “Damage mechanism” sudah ketahuan, dan “Inspection Planning” untuk “Risk Mitigation” telah terprogram. Perlu banyak asumsi, dan kita juga perlu keakuratan. Susahnya, karena ini adalah kehidupan percintaan, yang masih sangat premature, melibatkan dua budaya yang berbeda, melibatkan rasa toleransi yang tinggi, diperlukan kesabaran dan pemahaman perbedaan yang sangat bertingkat dan berwarna, sesuai dengan paragraph kedua yang saya tulis.

Kenapa kok ini perlu dilakukan? Karena ternyata masalah hati ini sangat sulit. Kita tahu, dalam kehidupan ini, perubahan dari senang ke sedih dan sebaliknya bisa cepat. Dan ternyata cinta juga demikian, bisa seperti suhu di permukaan bulan. Panas ratusan derajat di siang hari, dingin ratusan derajat di malam hari...:D.
Yang seharusnya saya lakukan menghadapi yang demikian adalah sesuatu seperti yang saya tulis di paragraph ketiga, seperti pasrah dan sabar, kata orang alim...
Kenapa lagi? Karena saya sudah terlanjur sayang...

Saturday, August 12, 2006

Obrolan di malam minggu

- Tulisan ini dibuat dalam konteks hubungan cinta antar manusia pada masa yang disebut pacaran –

Bicara dengan tetangga perempuan saya mengenai cinta di malam minggu kemarin. Dia bertanya: “Om, saya ini termasuk orang yang setia ngga sih? Tapi kenapa ya pacar saya, selalu menyia-nyiakan saya. Saya ancam dia, kalau kamu menyia-nyiakan saya, saya akan berdoa kepada Tuhan untuk pembalasannya.”

Pisah atau putus cinta memang menyakitkan. Ketika kompromi tidak lagi didapat, ketika ada tangan-tangan yang sangat berkuasa di satu sisi mengalahkan kekuatan yang ada akhirnya menimbulkan banyak pertanyaan daripada jawaban.

Persamaan matematika pun akan menjadi sangat sulit jika kita dapatkan variable yang terlalu banyak sehingga perubahannya benar-benar akan mengikuti satu atau beberapa fungsi yang acak. Tidak ada pola, yang akhirnya berarti tidak ada persamaan. Konsep yang abstrak yang akan dicoba untuk didekati untuk melihat kaitan antara ruang dan struktur pun hilang, yang akhirnya tidak ada satu konsep kontinuitas lagi.

Diskontinuitas…

Lalu orang menyederhanakannya dengan satu kata: bukan jodohnya. Mungkin memang kata-kata yang sederhana bisa membuat kita lega. Tapi paling tidak di sini, campur tangan Tuhan tidaklah sedemikian hebat dirasakan pada kondisi menikah.

Ada juga orang yang bilang: biarin aja. Membuat capek…

Balik ke pertanyaan tetangga perempuan saya, jawaban saya kira-kira begini ke dia:

1. Adakalanya kita menganggap orang lain, pacar kita, mempunyai siklus kehidupan yang sama serta ritme kehidupan yang sama persis dengan kita. Di saat kita senggang, dia pun senggang, dan di saat kita sibuk, dia pun sibuk. Padahal seringkali tidak demikian.
2. Adakalanya kita menganggap orang lain, pacar kita, mempunyai alokasi orientasi/perhatian yang seimbang dengan kita. Jika kita punya porsi 50% dalam otak kita adalah dia, pun, kita anggap dia mempunyai angka yang ekivalen dengan yang kita punya. Padahal kita tidak pernah tahu angka itu.
3. Sama dengan dua point di atas, tapi masalahnya ada di hati. Baca saja synopsis Opera Jawa-nya Garin Nughroho. Yang mesti akhirnya terbukti Siti setia kepadanya, toh, Setyo membunuhnya dan meraup isi hatinya, karena ia tetap ingin melihat isi hati istrinya.
4. Jangan ada pembalasan. Buatlah hati kita untuk memaafkan. Lupakanlah dan jadikanlah itu sebagai suatu eksperimen.

Akhirnya, memang situasi crossroad itu membuat kita susah. Kawan dekat saya bilang, tenang saja, nanti akan ada kesetimbangan baru dalam hidup. Perlu waktu memang, tapi biarlah itu terjadi. Toh, kalaupun dipaksakan juga repot. Buat apa repot-repot. Kadang memang dalam hidup dan beragama pun, madzhab “ngelmu katon” (ilmu yang kelihatan) enak untuk dilakukan. “Ngapain berpasangan jika hidup tambah susah?”

Thursday, August 10, 2006

Yang harus diterapkan akhir-akhir ini

Kang Sobary:
Hidup bukan perkara untung-untungan, melainkan perjuangan…
Maka, urusan kaya-miskin bagi saya urusan jiwa. Jangan salah, jiwa bukan hanya menyangkut atau meliputi "rasa", melainkan juga sikap, cara pandang, dan bahkan sampai ke tingkah laku dan segenap ekspresi diri kita dalam hidup.
Hidup memang penuh bunga-bunga semarak dan warna-warni, tetapi jarang yang menjadi buah. Maka, bila harus memilih, saya akan memilih bunga yang bisa menjadi buah. Karena itu saya akan berjuang demi "freedom" tadi agar tak terjajah kekayaan dan tak cemas akan ancaman kemiskinan. Tanpa "freedom" menjadi si kaya tak ada gunanya. Apalagi menjadi si miskin.

Thomas J. Abercrombie (National Geographic, edisi Indonesia, Agustus 2006):
Masa lalu adalah sebuah negara tersendiri.

Bob Sadino:
Bilamana apa yang saya harapkan, itu yang saya dapatkan, itulah sukses. Jadi kalau saya mengharapkan besok saya bisa makan, dan besok saya dapat makan, saya sudah sukses.

Calvin Coolidge:
Press on. Nothing can take the place of persistence.
Talent will not; the world is full of unsuccessful people with talent.
Genius will not; unrewarded genius is almost a proverb.
Education alone will not; the world is full of educated derelicts.
Persistence and determination alone are omnipotent.
---from andi---

Gus Mus:
Ya Allah, aku tidak meminta ringannya beban, pundak dan kakiku saja kuatkan.
Amin amin amin ya rabbal alamin

Three times a day, I have to sing this song...:D

OUT OF TIME
-Rolling Stone-

You don't know what's going on
You've been away for far too long
You can't come back and think you are still mine
You're out of touch, my baby, my poor discarded baby
I said baby, baby, baby, you're out of time

Well, baby, baby, baby, you're out of time
I said baby, baby, baby, you're out of time
Yes, you are left out,
Out of there left without a doubt
'cause baby, baby, baby, you're out of time

A girl who wants to run away, discovers that she's had her day
It's no good thinking that you are still mine
You're out of touch, my baby, my poor unfaithful baby
I said baby...You’re out of time…

You thought you were a clever girl giving up your social whirl
But you can't come back and be the first in line
You're obsolete, my baby, my poor old fashioned baby
I said baby...You’re out of time…


introduced by JH
dedicated especially for RM

Wednesday, August 02, 2006

Cerpen dari GusMus...(Rizal dan Mbah Hambali)

Sebagai lelaki, sebetulnya umur 37 tahun belum terbilang tua benar. Tapi Rizal tak tahu mengapa kawan-kawannya selalu mengejeknya sebagai bujang lapuk, hanya karena dia belum kawin. Orang tuanya sendiri, terutama ibunya, juga begitu. Seolah-olah bersekongkol dengan kawan-kawannya itu; hampir di setiap kesempatan selalu menanyainya apakah dia sudah mendapatkan calon pendamping atau belum. Rizal selalu menanggapi semua itu hanya dengan senyum-senyum

Jangan salah sangka! Tampang Rizal tidak jelek. Bahkan dibanding rata-rata kawannya yang sudah lebih dahulu kawin, tampang Rizal terbilang sangat manis. Apalagi bila tersenyum. Sarjana ekonomi dan aktivis LSM. Kurang apa?

"Terus teranglah, Zal. Sebenarnya cewek seperti apa sih yang kau idamkan?" tanya Andik menggoda, saat mereka berkumpul di rumah Pak Aryo yang biasa dijadikan tempat mangkal para aktivis LSM kelompoknya Rizal itu. "Kalau tahu maumu, kita kan bisa membantu, paling tidak memberikan informasi-informasi."

"Iya, Zal," timpal Budi, "kalau kau cari yang cantik, adikku punya kawan cantik sekali. Mau kukenalkan? Jangan banyak pertimbanganlah! Dengar-dengar kiamat sudah dekat lho, Zal."

"Mungkin dia cari cewek yang hafal Quran ya, Zal?!" celetuk Eko sambil ngakak. "Wah kalau iya, kau mesti meminta jasa ustadz kita, Kang Ali ini. Dia pasti mempunyai banyak kenalan santri-santri perempuan, termasuk yang hafizhah."

"Apa ada ustadz yang rela menyerahkan anaknya yang hafizhah kepada bujang lapuk yang nggak bisa ngaji seperti Rizal ini?" tukas Edy mengomentari.

"Tenang saja, Zal!" ujar Kang Ali, "kalau kau sudah berminat, tinggal bilang saja padaku."

"Jangan-jangan kamu impoten ya, Zal?" tiba-tiba Yopi yang baru beberapa bulan kawin ikut meledek. Rizal meninju lengan Yopi, tapi tidak mengatakan apa-apa. Hanya tersenyum kecut.

"Tidak sumbut dengan tampilannmu," celetuk Pak Aryo ikut nimbrung sehabis menyeruput kopinya. "Tampang boleh, sudah punya penghasilan lumayan, sarjana lagi; sama cewek kok takut! Aku carikan bagaimana?"

"Jawab dong, Zal!" kata Bu Aryo yang muncul menghidangkan pisang goreng dan kacang rebus, mencoba menyemangati Rizal yang tak berkutik dikerubut kawan-kawannya.

"Biar saja, Bu," jawab Rizal pendek tanpa nada kesal. "Kalau capek kan berhenti sendiri."

Memang Rizal orangnya baik. Setiap kali diledek dan digoda kawan-kawannya soal kawin begitu, dia tidak pernah marah. Bahkan diam-diam dia bersyukur kawan-kawannya memperhatikan dirinya. Dan bukannya dia tidak pernah berpikir untuk mengakhiri masa lajangnya; takut pun tidak. Dia pernah mendengar sabda Nabi yang menganjurkan agar apabila mempunyai sesuatu hajat yang masih baru rencana jangan disiar-siarkan. Sudah sering --sampai bosan-- Rizal menyatakan keyakinannya bahwa jodoh akan datang sendiri, tidak perlu dicari. Dicari ke mana-mana pun, jika bukan jodoh pasti tidak akan terwujud. Jodoh seperti halnya rezeki. Mengapa orang bersusah-payah memburu rezeki, kalau rezeki itu sudah ditentukan pembagiannya dari Atas. Harta yang sudah di tangan seseorang pun kalau bukan rezekinya akan lepas. Dia pernah membaca dalam buku "Hikam"-nya Syeikh Ibn ’Athaillah As-Sakandarany sebuah ungkapan yang menarik, "Kesungguhanmu dalam memperjuangankan sesuatu yang sudah dijamin untukmu dan kesambalewaanmu dalam hal yang dituntut darimu, membuktikan padamnya mata-hati dari dirimu."

Setiap teringat ungkapan itu, Rizal merasa seolah-olah disindir oleh tokoh sufi dari Iskandariah itu. Diakuinya dirinya selama ini sibuk --kadang-kadang hingga berkelahi dengan kawan-- mengejar rezeki, sesuatu yang sebetulnya sudah dijamin Tuhan untuknya. Sementara dia sambalewa dalam berusaha untuk berlaku lurus menjadi manusia yang baik, sesuatu yang dituntut Tuhan.
"Suatu ketika mereka akan tahu juga," katanya dalam hati.

***

Syahdan, pada suatu hari, ketika kelompok Rizal berkumpul di rumah Pak Aryo seperti biasanya, Kang Ali bercerita panjang lebar tentang seorang "pintar" yang baru saja ia kunjungi. Kang Ali memang mempunyai kesukaan mengunjungi orang-orang yang didengarnya sebagai orang pintar; apakah orang itu itu kiai, tabib, paranormal, dukun, atau yang lain. "Aku ingin tahu," katanya menjelaskan tentang kesukaannya itu, "apakah mereka itu memang mempunyai keahlian seperti yang aku dengar, atau hanya karena pintar-pintar mereka membohongi masyarakat sebagaimana juga terjadi di dunia politik." Karena kesukaannya inilah, oleh kawan-kawannya Kang Ali dijuluki pakar "orang pintar".

"Meskipun belum tua benar, orang-orang memanggilnya mbah. Mbah Hambali. Orangnya nyentrik. Kadang-kadang menemui tamu ote-ote, tanpa memakai baju. Kadang-kadang dines pakai jas segala. Tamunya luar biasa; datang dari segala penjuru tanah air. Mulai dari tukang becak hingga menteri. Bahkan menurut penuturan orang-orang dekatnya, presiden pernah mengundangnya ke istana. Bermacam-macam keperluan para tamu itu; mulai dari orang sakit yang ingin sembuh, pejabat yang ingin naik pangkat, pengusaha pailit yang ingin lepas dari lilitan utang, hingga caleg nomor urut sepatu yang ingin jadi. Dan kata orang-orang yang pernah datang ke Mbah Hambali, doa beliau memang mujarab. Sebagian di antara mereka malah percaya bahwa beliau waskita, tahu sebelum winarah."

Pendek kata, menurut Kang Ali, Mbah Hambali ini memang lain. Dibanding orang-orang "pintar" yang pernah ia kunjungi, mbah yang satu ini termasuk yang paling meyakinkan kemampuannya.

"Nah, kalau kalian berminat," kata Kang Ali akhirnya, "aku siap mengantar."

"Wah, ide bagus ini," sahut Pak Aryo sambil merangkul Rizal. "Kita bisa minta tolong atau minimal minta petunjuk tentang jejaka kasep kita ini. Siapa tahu jodohnya memang melalui Mbah Hambali itu."

"Setujuuu!" sambut kawan-kawan yang lain penuh semangat seperti teriakan para wakil rakyat di gedung parlemen. Hanya Rizal sendiri yang, seperti biasa, hanya diam saja; sambil senyum-senyum kecut. Sama sekali tak ada tanda-tanda dia keberatan. Apakah sikapnya itu karena dia menghargai perhatian kawan-kawannya dan tak mau mengecewakan mereka, atau sebenarnya dia pun setuju tapi malu, atau sebab lain, tentu saja hanya Rizal yang tahu. Tapi ketika mereka memintanya untuk menetapkan waktu, dia tampak tidak ragu-ragu menyebutkan hari dan tanggal; meski seandainya yang lain yang menyebutkannya, semuanya juga akan menyetujuinya, karena hari dan tanggal itu merupakan waktu prei mereka semua.

***

Begitulah. Pagi-pagi pada hari tanggal yang ditentukan, dipimpin Kang Ali, mereka beramai-ramai mengunjungi Mbah Hambali. Ternyata benar seperti cerita Kang Ali, tamu Mbah Hambali memang luar biasa banyaknya. Pekarangan rumahnya yang luas penuh dengan kendaraan. Dari berbagai plat nomor mobil, orang tahu bahwa mereka yang berkunjung datang dari berbagai daerah. Rumahnya yang besar dan kuno hampir seluruh ruangnya merupakan ruang tamu. Berbagai ragam kursi, dari kayu antik hingga sofa model kota, diatur membentuk huruf U, menghadap dipan beralaskan kasur tipis di mana Mbah Hambali duduk menerima tamu-tamunya. Di dipan itu pula konon si mbah tidur. Persis di depannya, ada tiga kursi diduduki mereka yang mendapat giliran matur.

Ternyata juga benar seperti cerita Kang Ali, Mbah Hambali memang nyentrik. Agak deg-degan juga rombongan Rizal cs melihat bagaimana "orang pintar" itu memperlakukan tamu-tamunya. Ada tamu yang baru maju ke depan, langsung dibentak dan diusir. Ada tamu yang disuruh mendekat, seperti hendak dibisiki tapi tiba-tiba "Au!" si tamu digigit telinganya. Ada tamu yang diberi uang tanpa hitungan, tapi ada juga yang dimintai uang dalam jumlah tertentu.

Giliran rombongan Rizal cs diisyarati disuruh menghadap. Kang Ali, Pak Aryo, dan Rizal sendiri yang maju. Belum lagi salah satu dari mereka angkat bicara, tiba-tiba Mbah Hambali bangkit turun dari dipannya, menghampiri Rizal. "Pengumuman! Pengumuman!" teriaknya sambil menepuk-nepuk pundak Rizal yang gemetaran. "Kenalkan ini calon menantu saya! Sarjana ekonomi, tapi nyufi!" Kemudian katanya sambil mengacak-acak rambut Rizal yang disisir rapi, "Sesuai yang tersurat, kata sudah diucapkan, disaksikan malaikat, jin, dan manusia. Apakah kau akan menerima atau menolak takdirmu ini?"

"Ya, Mbah!" jawab Rizal mantap.
"Ya bagaimana? Jadi maksudmu kau menerima anakku sebagai istrimu?"

"Ya, menerima Mbah!" sahut Rizal tegas.
"Ucapkan sekali lagi yang lebih tegas!"

"Saya menerima, Mbah!"
"Alhamdulillah! Sudah, kamu dan rombonganmu boleh pulang. Beritahukan keluargamu besok lusa suruh datang kemari untuk membicarakan kapan akad nikah dan walimahnya!"

Di mobil ketika pulang, Rizal pun dikeroyok kawan-kawannya.
"Lho, kamu ini bagaimana, Zal?" kata Pak Aryo penasaran. "Tadi kamu kok ya ya saja, seperti tidak kau pikir."

"Kau putus asa ya?" timpal Budi. "Atau jengkel diledek terus sebagai bujang lapuk, lalu kau mengambil keputusan asal-asalan begitu?"
"Ya kalau anak Mbah Hambali cantik," komentar Yopi, "kalau pincang atau bopeng, misalnya, bagaimana?"

"Pernyataanmu tadi disaksikan orang banyak lho," kata Eko mengingatkan. "Lagi pula kalau kau ingkar, kau bisa kualat Mbah Hambali nanti!"
"Jangan-jangan kau diguna-gunain Mbah Hambali, Zal!" kata Andik khawatir.

Seperti biasa, Rizal hanya diam sambil senyum-senyum. Kali ini tidak seperti biasa, Kang Ali juga diam saja sambil senyum-senyum penuh arti.